![]() |
Foto: Say It Right Official |
NARRAN.ID, OPINI -- Ketika Rian Fahardhi mengangkat tagar #DebatTetapPakaiAdab, ia bukan hanya mengajak kita untuk berbicara dengan sopan, tetapi untuk melihat kebebasan berpendapat dalam konteks yang lebih dalam, lebih kompleks. Kebebasan berpendapat bukanlah sekadar hak untuk mengeluarkan suara atau opini tanpa batas, tetapi sebuah kesempatan untuk berbicara dengan bijaksana, dengan memperhitungkan dampak yang ditimbulkan. Dalam beberapa debat—seperti yang sering kita temui di dunia maya—kebebasan berpendapat ini justru terperangkap dalam kata-kata kasar, penghinaan, atau bahkan serangan pribadi. Misalnya, ketika seseorang dengan mudah mengkritik dengan kata "dungu" atau "bodoh" tanpa menyadari bahwa setiap kritik yang keluar bukan hanya berisi ketidaksepakatan, tetapi juga mencerminkan emosi yang tidak terkendali.
Debat yang sehat seharusnya tidak terjebak dalam pertengkaran ini. Bahkan ketika kita mengkritik, misalnya, kita tidak perlu merendahkan, apalagi menggunakan kata-kata yang merusak kehormatan lawan bicara. Mengatakan "dungu" atau "kamu tidak paham nilai-nilai" hanya menurunkan kualitas diskusi itu sendiri. Pada titik ini, kita kehilangan adab—bukan hanya adab terhadap lawan bicara, tetapi juga terhadap diri kita sendiri. Dalam konteks ini, adab bukanlah pembatas kebebasan berpendapat, tetapi justru cara untuk memastikan bahwa kebebasan tersebut tidak jatuh dalam kegaduhan yang sia-sia.
Satu hal yang perlu kita pahami adalah bahwa adab mengandung muatan filosofis yang dalam—bukan sekadar etika atau kesopanan, tetapi sebagai prinsip yang mengatur kecerdasan emosional dan rasionalitas dalam berdialog. Adab adalah kecerdasan emosional yang mengajarkan kita untuk berbicara tanpa terperangkap dalam perasaan negatif, serta untuk mendengarkan dengan penuh perhatian. Bahkan ketika kita berbicara dengan seseorang yang lebih tua, seperti guru atau orang tua, kita tetap harus mengingat bahwa mereka juga manusia yang sedang berproses dalam memahami adab. Tidak semua orang selesai dengan pemahamannya terhadap adab, meskipun mereka adalah figur otoritas. Di sini, dialektika antar generasi tentang pengalaman adab berjalan, sebuah ruang yang penuh dengan akumulasi kecerdasan emosional yang terus berkembang.
Penting untuk menyadari bahwa tidak ada yang bisa sepenuhnya selesai dengan pemahaman adab ini, bahkan bagi mereka yang sudah dianggap sebagai guru atau orang tua. Mereka pun sedang menjalani proses dialektika, berbicara dan bertumbuh dalam pengalaman adab yang berbeda, yang dipengaruhi oleh waktu, konteks, dan situasi. Dalam proses itu, adab bukan hanya tentang pengendalian diri, tetapi juga tentang pemahaman atas relasi antar individu. Dan di dalam relasi ini, ada ruang untuk berbicara dengan rasa hormat, tidak hanya kepada yang lebih tua, tetapi juga kepada mereka yang lebih muda. Sebuah pengingat bahwa adab adalah jembatan yang menghubungkan emosi dan logika, yang mampu menyeimbangkan kecerdasan emosional dengan rasionalitas yang diperlukan dalam suatu dialog.
Dalam kebebasan berpendapat yang sehat, adab tetap hadir sebagai penuntun. Seperti yang dicontohkan dalam teori komunikasi, adab adalah meta-communication, yang mengarahkan bagaimana kita berbicara dengan kesadaran penuh. Dengan adab, kita bukan hanya menyampaikan opini, tetapi juga menunjukkan kecerdasan emosi kita dalam berinteraksi. Ini adalah kebebasan yang sejati—di mana kita bebas untuk mengungkapkan pandangan, tetapi tidak melupakan untuk mengungkapkan pandangan itu dengan penuh pengertian terhadap perasaan orang lain. Kebebasan berpendapat yang bebas nilai, namun tidak pernah mengabaikan nilai.
Sebagai manusia, kita terkadang terjebak dalam perasaan yang membara, tetapi adab mengingatkan kita untuk tidak terjebak dalam emosi yang merusak. Adab adalah cara untuk berbicara dengan hati yang lebih tenang, untuk menjaga agar kita tidak hanya berbicara dengan akal, tetapi juga dengan perasaan yang dikendalikan. Inilah kebebasan yang bukan hanya diizinkan, tetapi juga dihargai—sebuah kebebasan yang tidak membatasi, tetapi membuka ruang untuk dialog yang lebih bermakna.
Kebebasan berpendapat yang berlandaskan adab adalah kebebasan yang memungkinkan kita untuk terus berkembang, baik dalam pemikiran maupun dalam hubungan antar individu. Kebebasan ini membawa kita menuju masa depan yang lebih baik, yang penuh dengan saling pengertian dan penghormatan. Dengan #DebatTetapPakaiAdab, kita tidak hanya mengajarkan kebebasan berbicara, tetapi juga kebebasan untuk mendengarkan dengan hati yang terbuka. Sebuah kebebasan yang tidak hanya bebas dari pembatasan, tetapi bebas dari kebingungan, kekeliruan, dan kebingungan yang timbul dari emosi yang tidak terkendali. Adab adalah kesadaran akan kondisi emosionil kita dengan kata-kata.
Jadi, mari kita ingat bahwa dalam setiap debat, kita tidak hanya bebas untuk berbicara, tetapi bebas untuk berbicara dengan adab—dengan emosi yang terkendali dan logika yang jelas, dengan rasa hormat kepada siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Sebab, #DebatTetapPakaiAdab adalah kebebasan yang sesungguhnya—kebebasan yang memungkinkan kita untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam dan lebih bijaksana.
Penulis:
Afiq Naufal
#DebatTetapPakaiAdab #RianFahardhi #PresidenGenZ #GenZ #MasaDepan #Diskusi