Iklan

Kalau Moko yang Bangun Jakarta, Hujan Gak Lagi Jadi Musuh!

narran
Selasa, 04 Februari 2025 | Februari 04, 2025 WIB Last Updated 2025-02-04T12:32:11Z

 

1 Kakak 7 Ponakan
Foto: Volix.co.id

NARRAN.ID, NEWS - Moko berdiri di hadapan kliennya, dengan percaya diri mempresentasikan desain family resort yang tidak biasa. Klien memintanya untuk merancang ruang yang minimalis, yang fungsional, yang efisien. Ruangan yang kecil, meja dan kursi yang kecil, agar lebih banyak orang dapat ditampung. Moko menyimak permintaan itu, memahaminya dengan baik, namun sesuatu di dalam dirinya menuntut untuk berbicara. Ia merasa, bangunan bukan sekadar tentang efisiensi—bangunan adalah tubuh, adalah tempat bernaung, adalah jiwa yang memeluk kehidupan. Ia merasakan betapa ruang dapat memengaruhi perasaan, dapat menghubungkan kita dengan sesama dalam keintiman, dapat menghadirkan kenyamanan dalam keterbatasan.

Sebagai seseorang yang telah merawat ponakan-ponakannya terutama ada bayi—setelah kehilangan orang tua mereka, Moko tahu betul bahwa rumah bukan sekadar tempat untuk tinggal. Rumah adalah ruang untuk saling mencintai, untuk berbagi tawa, untuk bertumbuh bersama. Sebuah ruang yang cukup untuk mengganti popok bayi tanpa terburu-buru, yang cukup luas untuk sekeluarga makan bersama di meja yang besar, yang cukup intim agar perasaan dapat terjalin tanpa jarak. Itulah sebabnya ia mengusulkan desain yang berbeda—bukan sekadar menambah kamar atau memperkecil ukuran ruang, melainkan menciptakan sebuah ruang yang bisa mengundang kebersamaan. Sebuah ruang yang tak hanya fungsional, tetapi berperasaan.

Kliennya tampak kebingungan dan marah. Mereka tidak memahami apa yang Moko rasakan tentang sebuah bangunan yang dapat mencintai penghuninya. Mereka hanya melihat angka, ruang, dan profit. Seperti banyak kota lainnya, mereka tidak tahu bahwa sebuah bangunan yang dibangun dengan cinta akan bertahan lebih lama—tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara emosional. Ia akan menjadi tempat yang menyimpan kenangan, yang menyapa kita dengan kehangatan. Sebuah bangunan yang memeluk, bukan hanya menampung.

Di dunia yang semakin penuh dengan beton dan ruang yang dirancang semata untuk efisiensi, kita melupakan satu hal yang fundamental: bangunan, seperti tubuh manusia, harus diciptakan dengan cinta. Cinta itu bukan hanya soal bentuk, melainkan soal perasaan yang melingkupi ruang yang kita ciptakan. Bangunan yang dibangun dengan cinta bukanlah bangunan yang hanya berfungsi dengan sempurna—tetapi yang membangkitkan perasaan di dalam diri kita. Ia memeluk kita dengan ruang yang terasa seperti rumah, seperti pelukan yang tidak pernah menekan, yang memberi kita ruang untuk tumbuh, untuk merasakan, untuk berbagi.  

Bangunan yang dibangun dengan cinta adalah ciptaan yang mampu menghadirkan keindahan di setiap sudutnya, yang bisa kita rasakan tidak hanya dengan mata, tetapi dengan jiwa. Seperti seorang seniman yang melukis dengan perasaan, bangunan itu berbisik pada kita, mengundang kita untuk berhenti sejenak dan meresapi ruang. Tak jarang kita merasa ada sesuatu yang hilang ketika kita berhadapan dengan bangunan-bangunan modern—kita tidak lagi merasakan sentuhan manusia dalam setiap bata dan batu yang menempel. Kota menjadi kering, dan ruang menjadi sunyi. Kita tidak lagi berbicara dengan kota kita, karena kota kita tidak berbicara dengan kita.

Sama seperti hujan yang mencintai bumi, bangunan yang dibangun dengan cinta juga menyatu dengan tanah yang diinjaknya. Ia bukan hanya berdiri di atasnya, tetapi tumbuh bersamanya, berakar dalamnya, dan memberi keindahan bagi semua yang mendekat. Bangunan itu hidup, bukan sekadar berdiri.

Hujan, seperti cinta, datang tanpa diundang. Ia turun dengan lembut, membawa rindu bagi tanah yang kering, bagi pohon-pohon yang merindukan pelukan udara segar. Ia meresap ke dalam setiap lapisan tanah, setiap lembar daun yang melambai. Tetapi di tengah kota yang dipenuhi beton, hujan tak lagi bisa mencintai dengan bebas. Hujan merasa terhalang, terjebak dalam jaringan jalan yang tak pernah berhenti sibuk, dalam gedung-gedung yang menutup langit, dalam aspal yang menekan segala yang alami. Hujan benci beton. Hujan benci dinding yang memisahkan bumi dari langit, yang memisahkan manusia dari perasaan mereka.

Hujan, dengan segala kemurniannya, membutuhkan ruang untuk jatuh dengan bebas—tanpa penghalang, tanpa perbatasan. Ia ingin menyentuh tanah, menyentuh dedaunan, menyentuh tubuh-tubuh manusia yang terbuka untuk menerima sentuhannya. Lalu di kota seperti Jakarta, hujan hanya menjadi gangguan. Ia turun dengan rasa frustrasi, terjebak dalam drainase yang tidak mampu menampungnya, membanjiri jalanan yang sudah penuh dengan kesibukan. Hujan tidak lagi menjadi momen romantis—ia menjadi momen kecemasan, menjadi musuh yang menambah keruwetan.

Jakarta, dengan segala beton yang membungkusnya, menjadi kota yang tidak mampu mencintai hujan. Tidak ada ruang bagi hujan untuk meresap, tidak ada tempat bagi perasaan untuk tumbuh. Semua terasa sesak—terutama di musim hujan. Bahkan ketika hujan mengguyur jalanan, tidak ada rasa rindu yang terbalas, tidak ada cinta yang hadir. Kota ini hanya bisa menampung kesibukan, tapi tidak bisa menampung perasaan yang datang bersama hujan.

Jika  Moko yang membangunnya mungkin ia akan memulai dengan filosofi yang sederhana—bangunan yang baik tidak hanya efisien, tetapi juga penuh dengan makna. Bangunan yang dapat berbicara dengan penghuninya, yang dapat menciptakan hubungan emosional, bukan hanya sekadar tempat untuk berlindung. Jakarta, yang kini dipenuhi oleh gedung-gedung bertingkat, lebih mengutamakan kepentingan ekonomi dan kemajuan teknologi daripada merancang ruang untuk perasaan manusia, akan mendapatkan sentuhan yang lebih personal.

Dengan Moko sebagai arsitek, Jakarta akan dipenuhi oleh bangunan yang mampu berbicara dengan penduduknya. Setiap sudut, setiap lantai, setiap ruang—semuanya dirancang untuk memberikan pengalaman emosional yang kuat. Sebuah bangunan yang tidak hanya berdiri kokoh, tetapi memberi rasa aman, menyentuh hati, dan melibatkan indera kita dalam pengalaman yang lebih dalam. Setiap garis desain yang Moko buat bukanlah tentang keindahan visual semata, tetapi tentang bagaimana bangunan itu mengajak kita untuk lebih hidup, merasakan dan lebih sadar akan kehadiran kita di dunia ini. Seperti ruang family room yang Moko rancang, Jakarta akan memiliki ruang-ruang publik yang mendorong kebersamaan, yang mampu merangkul, bukan hanya menampung.

Jakarta sering kali terasa seperti kota yang berjarak—tempat yang sibuk dan penuh aktivitas, namun tanpa hubungan nyata dengan penghuninya. Moko, yang sangat paham akan pentingnya keintiman dan kebersamaan, akan menciptakan ruang-ruang yang memungkinkan kita saling terhubung satu sama lain. Ia akan merancang alun-alun dan taman yang menyatukan orang dari berbagai lapisan masyarakat, bukan hanya untuk beraktivitas, tetapi untuk berbicara, bercanda, dan merasakan kehadiran satu sama lain.

Moko akan membayangkan trotoar yang tidak sekadar tempat untuk berjalan, tetapi untuk berhenti, beristirahat, bercakap, dan menikmati. Ruang publik di Jakarta bukan lagi tempat untuk sekadar melintas, tetapi menjadi ruang yang mengundang kita untuk lebih hidup. Taman-taman di Jakarta akan dirancang untuk menyatu dengan kehidupan sehari-hari, membawa kita keluar dari rutinitas yang menyesakkan, dan menghadirkan tempat-tempat yang membuat kita merasa lebih terhubung dengan diri kita sendiri, dengan orang lain, dan dengan alam.

Jakarta adalah kota yang jarang menghargai hujan—ketika hujan turun, jalanan menjadi becek, tergenang, dan terkadang macet total. Moko, dengan kepekaannya terhadap elemen alam, akan merancang Jakarta dengan cara yang lebih harmonis dengan hujan. Ia akan menciptakan saluran drainase yang lebih efektif, merancang taman yang menyerap air hujan dengan baik, dan membangun jalan yang dapat menampung hujan tanpa mengganggu kehidupan sehari-hari. 

Tetapi lebih dari itu, Moko akan mengubah hujan menjadi elemen yang dirayakan. Jakarta akan memiliki tempat-tempat yang memanjakan kita saat hujan datang, seperti café dengan jendela besar yang memungkinkan kita duduk dengan nyaman dan melihat tetes-tetes hujan jatuh, atau balkon-balkon yang luas untuk menikmati hujan tanpa terganggu. Moko akan menjadikan hujan bukan sebagai gangguan, tetapi sebagai perayaan, sebuah momen romantis yang dapat kita nikmati bersama orang yang kita sayangi.

Moko yang sudah terbiasa merancang untuk keluarga, tentu akan sangat menghargai keberagaman dan kebersamaan dalam merancang kota. Jakarta, yang terdiri dari beragam suku, agama, dan latar belakang, membutuhkan ruang yang bisa mengakomodasi perbedaan tanpa memisahkan. Moko akan merancang ruang publik yang inklusif, yang memberikan tempat untuk semua orang, tanpa memandang status sosial, latar belakang, atau keyakinan.

Ruang-ruang ini akan berbicara tentang rasa saling menghormati, tentang kebersamaan, dan tentang empati. Tidak akan ada ruang yang dibuat untuk sekadar membagi kelas sosial, tetapi ruang yang mendorong kita untuk saling berbagi, bercakap, dan berkolaborasi. Moko akan mewujudkan Jakarta sebagai kota yang mempertemukan perbedaan, yang menjadikan perbedaan itu sebagai sesuatu yang indah, bukan sebagai sesuatu yang mengancam. Sebuah kota yang tidak hanya berbicara tentang efisiensi dan keuntungan, tetapi juga tentang hubungan antar manusia, tentang cinta dan kebersamaan yang saling menghargai.

Jika Moko yang menjadi arsitek Jakarta, kota ini akan dihiasi dengan ruang-ruang yang memungkinkan setiap individu untuk menemukan momen romantis dalam kehidupan sehari-hari. Romantisme di sini bukan hanya dalam konteks hubungan pribadi, tetapi dalam pengertian yang lebih luas: tentang bagaimana kita merasakan keindahan di sekitar kita, tentang bagaimana kita mengapresiasi waktu yang kita jalani, tentang bagaimana kita berbicara dengan kota dan kota berbicara dengan kita.

Moko akan merancang jalan-jalan yang membuat kita merasa seperti kita berjalan dalam sebuah cerita, taman-taman yang mengundang kita untuk berhenti dan merenung, ruang-ruang publik yang memudahkan kita untuk terhubung dengan sesama. Ia akan mengingatkan kita bahwa romantisme tidak harus datang dari sebuah hubungan pribadi, tetapi bisa hadir dalam interaksi kita dengan kota, dengan alam, dengan orang-orang di sekitar kita. Di Jakarta yang diciptakan oleh Moko, romantisme akan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari yang tak terpisahkan.

Jakarta, yang kini dipenuhi oleh beton dan gedung-gedung tinggi, akan menjadi kota yang lebih ramah lingkungan, yang menyatu dengan alam, yang menghargai setiap tetes hujan, setiap embusan angin, setiap daun yang berguguran. Moko akan menciptakan taman-taman vertikal di gedung-gedung pencakar langit, membuat Jakarta menjadi kota yang hijau, yang menyatu dengan alam. Sebuah kota yang bukan hanya untuk dihuni, tetapi untuk dirasakan—seperti rumah yang sesungguhnya, yang tidak hanya bernafas tetapi juga mencintai.

Jika Moko yang membangun Jakarta, mungkin kota ini akan lebih manusiawi, lebih peka, lebih penuh dengan cinta. Kota yang tidak hanya mengutamakan efisiensi dan profit, tetapi juga menghadirkan kebersamaan, keindahan, dan perasaan. Sebuah kota yang bisa mencintai kita, dan yang kita bisa cintai kembali. Kota abadi.


Penulis:
Afiq Naufal

#1kakak7ponakan #film #sosial #chiccokurniawan

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Kalau Moko yang Bangun Jakarta, Hujan Gak Lagi Jadi Musuh!

Trending Now