Iklan

Kesetiakawanan Ekonomi dan Kasus Abidzar dalam A Business Proposal

narran
Selasa, 11 Februari 2025 | Februari 11, 2025 WIB Last Updated 2025-02-11T05:21:41Z

 

Kesetiakawanan Ekonomi dan Kasus Abidzar dalam A Business Proposal
Foto: Falcon Pictures

NARRAN.ID, OPINI - Pada era digital, opini publik bukan sekadar ekspresi personal, melainkan juga alat yang dapat membentuk realitas industri. Apa yang kita dukung, apa yang kita tolak, dan bagaimana kita bereaksi terhadap suatu fenomena dapat berdampak langsung pada keberlanjutan karya kreatif. Kasus A Business Proposal versi Indonesia adalah salah satu bukti bagaimana kesetiakawanan ekonomi masyarakat bisa menjadi penentu nasib sebuah film, tetapi juga menunjukkan bagaimana reaksi impulsif publik bisa menjadi pedang bermata dua.  

Sejak pengumuman bahwa drama Korea A Business Proposal akan diadaptasi di Indonesia, ekspektasi publik begitu tinggi. Serial ini merupakan salah satu drama paling populer di Netflix, dengan cerita yang ringan, romantis, dan dikemas dalam humor segar. Ketika diumumkan bahwa Abidzar Al Ghifari akan memerankan karakter utama, respons awal cukup beragam. Sebagian mendukung, tetapi tak sedikit yang skeptis terhadap kemampuan adaptasi Indonesia dalam menghidupkan kembali kisah ini.  

Namun, gelombang kritik semakin besar setelah Abidzar dalam sebuah wawancara mengaku hanya menonton satu episode versi aslinya agar tidak terpengaruh oleh karakter aslinya. Pernyataan ini kemudian dianggap sebagai tanda kurangnya persiapan dan profesionalisme, terlebih dalam industri yang kini semakin kompetitif. Dalam hitungan jam, media sosial dipenuhi dengan komentar negatif, meme sindiran, dan akhirnya seruan boikot.  

Dampaknya pun terasa nyata. Pada hari pertama penayangannya, A Business Proposal versi Indonesia hanya berhasil meraih sekitar 10 ribu penonton. Angka ini jauh dari ekspektasi untuk sebuah film adaptasi dari drama yang sudah memiliki basis penggemar besar di Indonesia. Sementara beberapa film Indonesia lain bisa meraih ratusan ribu penonton di hari pertama, film ini justru mengalami penurunan animo yang drastis.  

Fenomena ini bukanlah sesuatu yang baru. Dalam beberapa tahun terakhir, tren boikot berbasis media sosial semakin sering terjadi, baik terhadap film, produk, maupun figur publik. Satu kesalahan kecil bisa dengan cepat berkembang menjadi gelombang perlawanan digital, yang pada akhirnya bisa berdampak pada bisnis dan ekonomi kreatif.  

Dari satu sisi, ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia memiliki kesetiakawanan ekonomi yang luar biasa. Ketika merasa suatu produk tidak memenuhi standar yang diharapkan, mereka bisa dengan cepat memberikan reaksi yang mempengaruhi pasar. Namun di sisi lain, fenomena ini juga menunjukkan bagaimana opini publik bisa menjadi begitu impulsif dan terkadang tanpa pertimbangan lebih dalam.  

Apakah benar A Business Proposal versi Indonesia pantas mendapatkan reaksi sekeras ini? Apakah film tersebut benar-benar gagal dari segi kualitas, ataukah ekspektasi publik yang terlalu tinggi sejak awal? Banyak pertanyaan yang seharusnya dipertimbangkan sebelum mengambil sikap boikot.  

Jika ditelusuri lebih dalam, banyak film Indonesia lain yang juga mengalami tantangan serupa. Dalam beberapa kasus, kritik memang diperlukan untuk mendorong peningkatan kualitas. Namun, dalam kasus lain, reaksi berlebihan justru bisa menghambat kreativitas dan keberanian para sineas untuk bereksperimen.  

Sebagai contoh, banyak film Hollywood atau drama Korea yang dalam proses adaptasi pun mengalami perubahan signifikan dan tak selalu sama dengan versi aslinya. Adaptasi adalah proses kreatif yang memiliki tantangannya sendiri. Jika publik terlalu cepat menghakimi tanpa memberi kesempatan pada film tersebut untuk berkembang, maka ekosistem perfilman kita bisa menjadi semakin tertutup dan stagnan.  

Boikot terhadap A Business Proposal mungkin dianggap sebagai bentuk kontrol kualitas oleh publik, tetapi ada bahaya jika tren seperti ini terus berlanjut tanpa adanya keseimbangan antara kritik dan apresiasi. Industri kreatif, termasuk perfilman, bukanlah sesuatu yang bisa berkembang dalam tekanan ketakutan. Jika sineas terus-menerus khawatir bahwa setiap langkah kecil mereka akan dihantam oleh gelombang boikot, maka akan semakin sedikit kreator yang berani mengambil risiko.  

Industri film Indonesia masih berada dalam tahap perkembangan yang membutuhkan banyak eksplorasi. Kesalahan, eksperimen, dan tantangan adalah bagian dari proses menuju kualitas yang lebih baik. Jika kita menginginkan film-film Indonesia yang semakin berkualitas, maka kita harus memberikan ruang bagi industri ini untuk belajar dan tumbuh.  

Kesetiakawanan ekonomi adalah kekuatan yang luar biasa. Jika diarahkan dengan bijak, ia bisa menjadi motor penggerak industri kreatif lokal. Tetapi jika hanya berfungsi sebagai alat untuk menghukum tanpa memberikan solusi yang konstruktif, kita bisa kehilangan banyak potensi besar dari para sineas muda yang seharusnya kita dukung.  

Hari ini, kita mungkin melihat A Business Proposal sebagai proyek gagal karena jumlah penontonnya yang rendah. Tetapi, apa yang bisa kita pelajari dari fenomena ini? Haruskah kita terus bereaksi secara impulsif terhadap setiap karya anak bangsa, ataukah kita bisa mulai membangun budaya kritik yang lebih sehat dan mendorong perkembangan industri kreatif yang lebih baik?  

Industri kreatif, termasuk perfilman, membutuhkan keseimbangan antara kritik dan apresiasi. Jika hanya ada boikot tanpa solusi, maka kita hanya akan membentuk lingkungan yang penuh ketakutan, bukan inovasi. Sudah saatnya kita sebagai audiens memahami bahwa setiap karya memiliki prosesnya sendiri, dan jika kita ingin melihat industri film Indonesia berkembang, maka kita harus menjadi bagian dari solusi, bukan hanya bagian dari gelombang yang menghancurkan.


#ABusinessProposal #Adaptasi #Drakor #Film #Boikot #Blunder
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Kesetiakawanan Ekonomi dan Kasus Abidzar dalam A Business Proposal

Trending Now