![]() |
Foto: Inilah.com/ Vonita Betalia |
Negara dengan asas kelima Pancasila ini menyalakan api. Pemerintahan Prabowo Subianto baru aja bikin gebrakan atau malah guncangan? APBN 2025 dipangkas habis-habisan debgab total Rp306,69 triliun dipreteli demi menjalankan program prioritas, salah satunya makan siang gratis buat 82 juta anak dan ibu hamil. Keren? Mungkin, tapi tunggu dulu. Efek domino dari kebijakan ini langsung terasa, terutama di sektor Pendidikan. Tahu kan apa efek domino? Reaksi berantai yang terjadi ketika satu kejadian memicu serangkaian kejadian serupa, kedengerannya seram, ya.
Pendidikan Kena Sikat, nih
Dari total pemangkasan, anggaran Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendikti Saintek) dipangkas Rp22,54T. Ini jadi pemotongan terbesar kedua setelah Kementerian PUPR. Sementara itu, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah juga kena sunat Rp8,03 triliun, loh. Bahasa kasarnya? Pendidikan dikorbankan buat "program lain"!
Beasiswa dan Guru Honorer dalam Bahaya?
Bukan sekadar angka doang, pemotongan ini bikin deg-degan. Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, padahal udah kasih peringatan: sekitar 600 ribu mahasiswa penerima KIPK (Kartu Indonesia Pintar Kuliah) bisa kena imbas. Bisa-bisa banyak yang putus kuliah karena bantuan tidak cair. Nggak cuma itu, guru honorer juga terancam pemecatan massal, dan anak-anak di daerah terpencil makin sulit dapet akses pendidikan. Seram, bukan?
Pemangkasan anggaran pendidikan tidak hanya berdampak sesaat, tetapi di masa depan juga berisiko menurunkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Tanpa investasi yang cukup di sektor pendidikan, daya saing bangsa bisa semakin tertinggal dibandingkan negara-negara lain yang justru "meningkatkan anggaran pendidikan" mereka. Misal, negara seperti Finlandia dan Jerman yang terus berinvestasi besar dalam Pendidikan untuk membangun SDM yang unggul dan inovatif.
Pembelaan Pemerintah, Sri Mulyani: Tenang, 20% Tetap Ada!
Menteri Keuangan Sri Mulyani coba nenangin suasana, sobat. Katanya, meskipun ada efisiensi, anggaran pendidikan tetap dialokasikan 20% dari APBN. Tapi masalahnya, efisiensi itu justru bikin sektor yang paling butuh anggaran malah jadi korban. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Lalu Hadrian Irfani, juga minta Pemerintah buat nggak main potong beasiswa sembarangan. Kalau pendidikan dipreteli, mau dibawa ke mana masa depan anak bangsa?
Belajar dari Vietnam dan Cina
Langkah efisiensi anggaran tidak hanya dilakukan oleh Indonesia. Vietnam pun, melakukan pemangkasan anggaran dengan mengurangi jumlah Kementerian dan Lembaga Pemerintah dari 30 menjadi 22, serta memberhentikan sekitar 100 ribu pegawai negeri sipil. Tidak lain tidak bukan, langkah ini bertujuan menghemat anggaran sebesar 113 triliun dong atau sekitar Rp72 triliun. Namun, Vietnam tetap mempertahankan bahkan meningkatkan anggaran untuk sektor-sektor vital seperti pendidikan dan kesehatan. Lalu, di Cina, Pemerintah Daerah Xizang (Tibet) justru meningkatkan alokasi dana pendidikan sebesar 8,4% menjadi 30,6M yuan pada tahun lalu. Kebijakan ini bertujuan memperluas akses dan meningkatkan kualitas pendidikan di wilayah tersebut. Alhasil, langkah Vietnam dan China menunjukkan bahwa efisiensi anggaran bisa dilakukan tanpa mengorbankan Pendidikan sebagai investasi jangka panjang.
Data dan Riset Pendukung
Menurut laporan UNESCO, negara-negara dengan anggaran Pendidikan yang stabil cenderung memiliki tingkat literasi dan inovasi yang lebih tinggi. Ya, iyalah, bahkan rakyat yang hidupnya di bawah rata-rata pun tahu akan hal itu dan dia pun pasti mau (berkeinginan) lebih baik lagi. Sebaliknya, pemotongan anggaran Pendidikan di berbagai negara sering kali menyebabkan peningkatan angka putus sekolah dan rendahnya daya saing tenaga kerja. Selain kasihan, rakyat pun capek Pak/Bu. Studi dari Bank Dunia juga menunjukkan bahwa setiap peningkatan investasi dalam Pendidikan berbanding lurus dengan pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Nah, lihat! Apa nggak sedep kayak gini Pak/Bu.
Respons dari Akademisi dan Pakar Pendidikan
Pakar Pendidikan dan Ekonom telah memberikan berbagai tanggapan mengenai pemangkasan ini. Menurut Prof. Anies Baswedan, pemotongan anggaran Pendidikan bisa berdampak buruk pada kualitas pengajaran dan infrastruktur sekolah. Sementara itu, jauh sebelum adanya pemangkasan anggaran ini, mendiang ekonom Faisal Basri sempat menilai bahwa alokasi anggaran harus lebih selektif, dengan fokus pada pendidikan sebagai pilar utama pembangunan.
Jika pemerintah ingin tetap menjalankan program makan siang gratis tanpa mengorbankan sektor pendidikan, ada beberapa opsi yang bisa dipertimbangkan:
1. Optimalisasi Anggaran dari Sektor Lain – Pemerintah bisa meninjau kembali anggaran yang kurang produktif, seperti belanja birokrasi yang masih cukup besar.
2. Kolaborasi dengan Sektor Swasta – Mendorong kerja sama dengan perusahaan untuk mendukung program Pendidikan melalui Corporate Social Responsibility (CSR).
3. Reformasi Pengelolaan Dana Pendidikan – Memastikan anggaran yang ada digunakan secara lebih efektif dan tepat sasaran sehingga tidak ada pemborosan.
Makan Siang Gratis vs. Masa Depan Pendidikan
Oke, program makan siang gratis memang kedengeran mulia. Namun, apakah worth it jika berdampak pada akses pendidikan yang semakin sulit? Investasi jangka panjang yang bener itu, ya, pendidikan, bukan sekadar bagi-bagi nasi kotak. Kalau generasi muda tidak mendapat pendidikan yang layak, siapa yang akan meneruskan negara ini? Penjajah? Jadi, ini strategi jitu atau blunder besar?
Penulis:
Aulia Siagian (Digital Storyteller)
#Efisiensi #Anggaran #Prabowo #KabinetMerahPutih #Pendidikan #Kesehatan #PemangkasanAnggaran #Ekonomi