Iklan

Seabad Sunyi: Pramoedya, Musafir di Labirin Bangsa

narran
Minggu, 09 Februari 2025 | Februari 09, 2025 WIB Last Updated 2025-02-09T05:46:33Z

 

Seabad Sunyi: Pramoedya, Musafir di Labirin Bangsa
Foto: indonesiakaya.com

NARRAN.ID, SASTRA - Waktu, seperti sungai yang tak henti mengalir, membawa serta nama-nama yang pernah bersinar ke muaranya. Ada yang karam, ada yang terus dikenang dalam riak-riaknya. Pramoedya Ananta Toer adalah satu dari sedikit nama yang tak tenggelam. Ia tetap melawan arus, meski dihantam gelombang pengasingan, senja yang penuh luka, dan zaman yang kerap ingkar janji.
Seratus tahun sejak kelahirannya, suara Pram masih menggema—bukan dalam pidato yang berapi-api, melainkan dalam lembar-lembar yang pernah ia tuliskan dengan tangan terbelenggu. Ia bukan sekadar penulis, melainkan musafir ideologis yang menelusuri lorong-lorong sejarah bangsa, menyalakan lentera di ruang-ruang yang gelap, di mana ingatan kolektif kita kerap dikaburkan oleh dogma dan kuasa.

Dalam labirin bangsa ini, Pramoedya adalah pejalan yang tak pernah benar-benar menemukan jalan pulang. Ia lahir dalam tanah yang dijajah, tumbuh di antara pergolakan, dan menulis dengan tinta yang dirampas. Jejaknya seperti jejak di pasir, hendak dihapus, tetapi selalu ada yang membacanya kembali.
Ia dipenjara oleh kolonial, ditindas oleh bangsanya sendiri. Kata-katanya membebaskan banyak orang, tetapi tubuhnya sendiri terus terbelenggu. Dari Pulau Buru, ia menulis Bumi Manusia, sebuah kesaksian bahwa bangsa ini pernah bermimpi besar, bahwa manusia bisa dicetak oleh sejarah dan membentuk sejarahnya sendiri. Namun, ironisnya, Pram sendiri dicetak oleh penderitaan yang berkepanjangan.

Dari situ, kita belajar bahwa dalam setiap bangsa, selalu ada musafir seperti Pram—orang-orang yang berjalan terlalu jauh dalam pikirannya sendiri, yang melihat terlalu jelas apa yang ingin dihapus oleh kekuasaan. Mereka menulis dengan resiko dijebloskan ke penjara, berbicara dengan konsekuensi dibungkam. Tapi, seperti yang Pram buktikan, kata-kata lebih sulit dipenjarakan daripada tubuh manusia.

Seratus tahun sejak Pram dilahirkan, kita masih berdiri di persimpangan jalan yang sama. Kita masih bertanya-tanya siapa kita, bangsa ini masih membentuk dirinya, kadang dengan ingatan yang pudar, kadang dengan sejarah yang sengaja dipilih-pilih.

Di negeri yang katanya merdeka ini, kebenaran masih sering kali tunduk pada kepentingan. Narasi besar yang ingin kita percayai masih lebih sering dikisahkan oleh mereka yang berkuasa. Dan Pramoedya, dalam seratus tahun kelahirannya, tetap menjadi cermin yang memantulkan wajah bangsa ini—wajah yang mungkin belum sepenuhnya kita kenali.

Hari ini, kita mengenang Pram bukan hanya sebagai sastrawan, melainkan sebagai ingatan yang tak bisa dihapus, sebagai seorang musafir yang telah menapaki lorong-lorong sejarah kita lebih dalam dari siapa pun. Seratus tahun sunyi, tapi suaranya masih ada.

Mungkin, seperti yang selalu ia katakan, sejarah memang milik mereka yang menang. Tapi, kata-kata? Kata-kata adalah milik siapa saja yang berani menuliskannya.


Penulis:
Afiq Naufal

#PramoedyaAnantaToer #Sastrawan #Sastra #Perjalanan #Biografi
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Seabad Sunyi: Pramoedya, Musafir di Labirin Bangsa

Trending Now