![]() |
Sumber: BBC |
Sebuah publikasi terbaru dari seri "Cerita Data Statistik untuk Indonesia" yang diterbitkan pada Maret 2025 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa satu dari sepuluh pekerja—atau 14,37 persen dari total pekerja di Indonesia pada 2024—adalah ibu rumah tangga. Istilah itu menggambarkan perempuan yang bekerja dan mendapatkan gaji tertinggi, menjadi pencari upah utama, atau bahkan menjadi satu-satunya pencari nafkah dalam rumah tangga.
Status "berusaha"—terutama usaha perorangan—merupakan ciri khas dari pekerjaan ibu rumah tangga. Sayang, jenis pekerjaan ini memiliki perlindungan kesehatan dan sosial yang rendah di tempat kerja. Dalam hal jaminan kesehatan, BPS melaporkan bahwa 73,42 persen ibu yang menghasilkan uang mengaku tidak memilikinya. Di sisi lain, 76,94 persen ibu yang menghasilkan uang mengaku tidak memiliki jaminan kecelakaan kerja.
Selain itu, wanita yang bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluarga menghadapi tantangan ekonomi dan beban ganda. Dengan kata lain, mereka tidak hanya bertanggung jawab atas ekonomi keluarga tetapi juga bertanggung jawab atas pekerjaan rumah dan tanggung jawab pengasuhan anak.
Oleh karena itu, perempuan terus menghadapi diskriminasi berdasarkan gender, perbedaan gaji, dan ketidakmampuan untuk mendapatkan pekerjaan yang stabil dan layak di dunia kerja. Sebagai contoh, data BPS dari Februari 2024 menunjukkan bahwa rerata upah bulanan karyawan dan buruh laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Sementara wanita hanya menerima gaji Rp2,57 juta, laki-laki menerima gaji 28,40% lebih tinggi, yaitu Rp3,30 juta.
Mengingat bahwa setiap pekerja berhak atas upah yang setara untuk pekerjaan yang sama, perbedaan ini harus diperhatikan. Sebaliknya, ibu rumah tangga perempuan, yang berfungsi sebagai tulang punggung keluarga, pasti akan menghadapi tantangan yang semakin besar karena perbedaan seperti ini.
Meskipun demikian, pendapatan ibu rumah tangga memainkan peran yang signifikan dalam ekonomi rumah tangga. Menurut laporan BPS yang sama, sekitar 47,65 persen dari mereka menyumbang antara 90 dan 100 persen dari pendapatan keluarga secara keseluruhan.
Sepertinya masalah ibu asuh perempuan ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Kondisi yang sama juga terjadi di negara maju. Perbedaan antara perempuan dan laki-laki dalam membagi waktu dalam rumah tangga ditunjukkan oleh studi Pew Research Center tahun 2023 di kalangan orang yang sudah menikah di AS.
Menurut penelitian tersebut, laki-laki cenderung menghabiskan lebih banyak waktu untuk bersantai dan bekerja, sementara perempuan tetap memikul beban pekerjaan rumah tangga dan tanggung jawab mengasuh anak, meskipun kontribusi finansial dalam rumah tangga setara.
Di Amerika Serikat, proporsi perempuan yang berpenghasilan sama atau jauh lebih tinggi daripada suami mereka meningkat sekitar tiga kali lipat dalam lima puluh tahun terakhir, meskipun laki-laki tetap menjadi pencari nafkah utama dalam mayoritas pernikahan heteroseksual.
Dalam 29 persen pernikahan di Amerika Serikat pada tahun 2022, penghasilan perempuan dan laki-laki hampir sama. Di sisi lain, 55 persen pernikahan memiliki suami yang mencari nafkah sebagai pencari nafkah utama atau satu-satunya, dan 16 persen memiliki istri yang mencari nafkah sebagai pencari nafkah utama atau tunggal.
Persentase perkawinan di Amerika Serikat di mana istri adalah pencari nafkah utama atau tunggal telah meningkat, meningkat dari 5% pada tahun 1972 menjadi 16% selama lima puluh tahun berikutnya. Meskipun mereka memberikan kontribusi finansial setara dalam rumah tangga, perempuan masih memikul beban pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak. Lalu bagaimana dengan Indonesia? [Red]